Selasa, 29 Januari 2013

Film Dokumenter OPERA BATAK

Judul : "Opera Batak" teater rakyat Batak dalam cerita...
Durasi : 26 menit
Sutradara : Andi Hutagalung
Gendre : Film Dokumenter
Produksi : ANDI HUTAGALUNG | copyright2011
sinopsis : Sejak tahun 1920-an Opera Batak mewarnai kehidupan masyarakat Sumatera Utara selama 60 tahun. Seni pertunjukan kreasi Tilhang Oberlin Gultom ini hadir melalui pementasan keliling. Bahkan sampai ke Sumatera Barat, Riau, dan Jakarta. Kemajuan teknologi komunikasi dan dunia hiburan di akhir tahun 1980 kemudian menghentikan kelompok-kelompok Opera Batak.
Powered by : ANDI HUTAGALUNG & PLOt

Minggu, 12 Juni 2011

Film Dokumenter OPERA BATAK

Judul : "Opera Batak" teater rakyat Batak dalam cerita...
Durasi : 26 menit
Sutradara : Andi Hutagalung
Gendre : Film Dokumenter
Produksi : Andi Hutagalung | copyright2011
sinopsis : Sejak tahun 1920-an Opera Batak mewarnai kehidupan masyarakat Sumatera Utara selama 60 tahun. Seni pertunjukan kreasi Tilhang Oberlin Gultom ini hadir melalui pementasan keliling. Bahkan sampai ke Sumatera Barat, Riau, dan Jakarta. Kemajuan teknologi komunikasi dan dunia hiburan di akhir tahun 1980 kemudian menghentikan kelompok-kelompok Opera Batak.
Powered by : Andi Hutagalung & PLOt

Senin, 28 Juni 2010

FETIVAL FILM ANAK 2010

Workhsop FFA Medan 2010 “Tiga Hari Anak-anak Bikin Tiga Film…”
Medan, 28 Juni 2010

Di Kisi Workhsop Perfilman Anak/ Pelatihan Produksi Film FFA Medan 2010:
“Tiga Hari Anak-anak Bikin Tiga Film…”

Sungai Petani yang mengalir deras di sela-sela bongkahan batu-batu besar serasa seperti mesin ide yang sedang berputar tak berhenti mengiringi waktu. Tidak siang, tidak pula malam. Kehijauan alam dan kesejukan udara seperti nafas baru yang menumbuhkan inspirasi bagi tubuh-tubuh mungil dan sedang tertawa ceria yang terselip disela-sela batu-batu itu.

Siang itu, tidak lebih dari seratus anak dan puluhan remaja dari berbagai daerah di Sumatera Utara terlihat berkumpul di sepanjang bantaran dan pinggiran sungai, seakan-akan di kawasan itu sedang berlangsung konferensi tingkat tinggi yang diselenggarakan oleh anak-anak mereka di pusat pelatihan itu.

Sebagian anak tampak asyik dengan berbagai kegiatan outbond, sebagian lain tampak sedang berekreasi. Ada yang sedang menikmati tur wisuda Taman Kanak-kakak, ada pula yang sedang mengikuti pelatihan produksi film.

Di sebuah rumah panggung yang mirip villa, Dila, 13 tahun, seorang dari 30 anak yang baru saja sampai di lokasi itu tampak keheranan melihat anak-anak lain yang berada di sana. Maklumlah, dia baru pertama kali datang ke daerah itu. Siswi SMP ini bersama teman-temannya dikumpulkan di balai-balai ruang utama bangunan kayu itu.

Oleh Fasilitator, mereka diberi penjelasan tentang hak-hak mereka seperti hak mengutarakan pendapat, hak partisipasi, hak berekspresi, hak berkumpul, hak menggunakan waktu luang untuk bermain dan hak mengikuti kegiatan seni budaya. Selain itu, fasilitator juga mengajak anak-anak bercerita sambil memberikan penjelasan tentang potensi yang mereka miliki, semangat dan harapan mereka untuk meraih masa depan mereka yang lebih baik.

Memang, Training Center Sayum Sabah (TCSS) yang dikelola Bitra Indonesia ini merupakan tempat yang bertuah bagi anak-anak yang ada di Sumatera Utara, karena selain didukung fasilitas yang sangat memadai seperti aula, asrama, perpustakaan dan lokasi outbond, tempatnya juga sangat strategis, ramah lingkungan dan ramah anak. Bahkan, pohon-pohon dan tanaman-tanaman beraneka ragam yang ada di sana sudah diberinama secara ilmiah, sehingga anak-anak dapat belajar sambil bertamasya. TCSS ini terletak di Desa Sayum Sabah Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, sekitar 60 km dari Kota Medan.

Maka tak salah Panitia Penyelenggara FFA Medan 2010 memilih lokasi tersebut untuk penyelenggaraan Workshop Perfilman Anak/ Pelatihan Produksi Film Festival Film Anak (FFA) Medan di tahun yang ketiga, 2010 ini.

Sekretaris Panitia Pengarah FFA Medan, Onny Kresnawan mengatakan, FFA Medan 2010 memberikan nuansa yang berbeda dengan dua kali penyelenggaraan FFA pada tahun-tahun sebelumnya.
“Pada FFA 2008 dan 2009, anak-anak tidak menginap, tetapi tahun ini atas izin tertulis dari orang tua dan pihak sekolah anak-anak menginap, sehingga waktu praktek dan sosialisasi sesama peserta bisa lebih banyak,” terang Onny yang juga fasilitator bersama Jufri Bulian Ababil pada kegiatan tersebut.

Selain itu kata Onny, suasana alam yang indah dan semangat senasib sepenanggungan selama kegiatan ini berlangsung menambah solidaritas sesama peserta, sehingga sangat membantu fasilitator mengarahkan anak untuk mampu bekerjasama dan saling membantu dalam sebuah produksi film.
Difa, 12 tahun juga adalah peserta workshop perfilman/ pelatihan produksi film FFA tahun ini yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Selain dia, masih ada beberapa teman seusianya seperti Rio, Suci dan Jon yang ikut berpartisipasi dalam pelatihan produksi film ini.

Sebagai narasumber antara lain, Eddy Sunarwan (Manager Office ILO North Sumatera) H. Amsyal (Ketua FKiF Sumut/ Direktur PT Widy Production) Andi Hutagalung, Wendy dan Eric Murdianto (Umatic Studio), Onny Kresnawan (merangkap pendamping/fasilitator) dan Jufri Bulian Ababil.

Semua materi perfilman dasar mulai dari belajar menulis naskah, menyusun story board, cara mengambil gambar, art/ makeup, menyunting film, manajemen perfilman hingga cara casting dan penyutradaraan semua mereka lahap dengan baik. “Saya senang kali lah, bisa belajar biar jadi sutradara terkenal,” kata Jon.

Sebelum masuk pada sesi Perfilman Anak sebagai Media Pencegahan Pekerja Anak dan Eksploitasi Anak di bidang Entertainment yang disampaikan oleh Manager ILO-IPEC Sumatera Utara, Edi Sunawaran, minat dan bakat anak kelihatannya sudah tergali secara sadar. Misalnya, sebagian anak dengan jelas menyatakan minatnya lebih pada penulis naskah, ada pula yang jadi juru kamera, ada pula yang ingin jadi editor.

Pada saat acara pembukaan, fasilitator menyuguhkan 3 film terbaik FFA 2008-2009, yakni film Andai Kutahu (Sani Pictures, Bekasi, Jabar), Baju Buat Kakek (Sawah Arta Film, Jawa Tengah) dan Coretan Liar (Sketsa 52, Medan). Setelah anak-anak nonton bersama, anak-anak diajak berdiskusi tentang ide-ide membuat film yang diangkat dari kehidupan mereka sehari-hari.

Setelah ide-ide mereka terkumpul, anak-anak diajak untuk menggambar ide-ide mereka sesuai dengan kaidah-kaidah pengambilan gambar, mereka selanjutnya diajak bermain dan memerankan cerita yang mereka buat sampai akhirnya menyunting bersama film yang sudah mereka produksi. Pada hari ketiga, sebelum penutupan, anak-anak sudah menonton film karya mereka sendiri.

Ketua Forum Komunikasi Insan Perfilman Sumatera Utara, H. Amsyal mengatakan, “Saat anak-anak datang menuju lokasi workhop saya ikut bersama mereka. Mereka diajak menonton. Tetapi yang membuat saya sangat terkesan, pada saat mereka pulang dari kegiatan workshop film itu mereka sudah menonton tiga film karya mereka,” ujar Amsyal yang juga Direktir PT Widy Production itu.

FFA adalah kegiatan yang telah berlangsung sejak 2008, yang digagas dan diselenggarakan bersama oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) bekerjasama dengan komunitas film di Sumatera Utara yaitu Sineas Film Documentary (SFD), Komunitas Film 52 (Kofi’ 52), Medan Short Movie (MSM), Kensington Institute dan Independent Movie Maker Community (IMMC).

“Ini tahun ketiga FFA dilaksanakan. Sejak tahun 2008, kita telah memperlombakan sebanyak 47 film fiksi dan documenter karya partisipasi anak dari berbagai propinsi di Indonesia,” terang Jufri Bulian Ababil selaku ketua Panitia Penyelenggara.

Sejatinya, semua anak kreatif, dan dunia mereka adalah dunia yang penuh kreasi. Sehingga tidak perlu menggunakan tongkat ajaib atau lampu Aladdin untuk membuat anak-anak menjadi kreatif. Cukup dengan beberapa materi ringan tentang membuat film sudah cukup membekali anak untuk menjadi seorang sineas muda.

“Materi-materi yang bersifat cinematografi kita adaptasi terlebih dahulu menjadi muatan-muatan ringan, kemudian disisip ke dalam dunia anak-anak seperti bercerita, bernyanyi bersama, bermain bersama dan menggambar bersama. Itu terbukti sudah cukup membekali anak menjadi filmmaker yang sesuai dengan dunianya,” jelas Jufri.

Hal ini telah terbukti jelas dalam pelaksanaan Workhsop FFA 2010 yang berlangsung Selasa-Kamis, 22-24 Juni lalu itu. Kegiatan yang didukung oleh Yayasan Bitra Indonesia, PT. Widy Production, Umatic Studio, Delta FM, PWI Jakarta Raya dan Majalah Kabar Film itu hanya dalam waktu tidak kurang dari tiga hari telah menghasilkan dua film fiksi dan satu film documenter hasil kerjasama ketiga puluh peserta yang telah dibagi menjadi empat tim produksi itu.

Dituturkan Jufri, Bila tiga hari yang sebelumnya peserta FFA datang ke Sayum Sabah dan menonton tiga film terbaik FFA, maka tiga hari kemudian mereka telah menonton film mereka sendiri. Diharapkannya, tiga bulan ke depan hasil karya mereka akan mewarnai perfilman nasional.
“Abah berharap, tiga hari ini adik-adik dilatih menjadi penulis naskah, pemeran, sutradara, juru kamera, editor dan sebagainya, maka ingatlah hari ini, pada saat adik-adik menerima anugerah FFA 2010 pada tiga bulan mendatang,” tuturnya.

FFA merupakan Festival Film Anak pertama di Indonesia yang diikuti sineas anak dari sejumlah propinsi di Indonesia antara lain, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur yang memperlombakan film karya anak (usia 8-19 tahun) untuk kategori fiksi dan dokumenter.

Setelah usainya workshop FFA Medan 2010 ini FFA menerima film-film karya anak seluruh Indonesia hingga batas terakhir akhir 17 Agustus 2010. Film-film akan dipublikasikan dan diputar ke berbagai komunitas film jaringan FFA se-Indonesia. Puncaknya adalah malam penganugerahan FFA yang direncanakan akan digelar pada 21 Oktober mendatang.

“FFA pada dasarnya siap bekerjasama dengan berbagai jaringannya di seluruh Indonesia pihak untuk menggelar workshop di propinsi masing-masing, hanya saja masih perlu pematangan konsep, agar malam penganugerahannya tetap digelar di Medan, sesuai dengan sejarah FFA,” kata Direktur Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Ahmad Sofian, SH, MA.*** (Abah Jufri)

Kamis, 04 Februari 2010

FESTIVAL FILM PENDEK DISPUDPAR SU 2009

Semoga langkah awal membangkitkan kembali industri perfilman ini terus berkembang untuk memberi edukasi dan informasi kepada masyarakat tentang kebudayaan dan pariwisata Sumatera Utara,” ujar Sudarno, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara yang juga Ketua Pelaksana Festival Film Pendek se-Sumatera Utara mewakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara, Ir. Hj Nurlisa Ginting saat menutup kegiatan, Selasa (8/12).

Lebih lanjut dikatakan Sudarno, Festival Film Pendek se-Sumatera Utara tersebut bertujuan menggairah dunia industri perfilman di Sumatera utara. Mengingat Sumatera utara dulunya dikenal sebagai industri perfilman yang mampu berkiprah di tingkat nasional.

Apalagi berbagai lokasi dan objek pariwisata yang tersebar di Provinsi Sumatera Utara selalu menjadi lokasi syuting beberapa film nasional yang diputar di layar lebar.

Didit Mahadi Kadar menambahkan Festival Film Pendek se-Sumatera Utara itu dapat memacu kreativitas para generasi muda di Sumut untuk membuat, menampilkan hasil karya terbaiknya dalam bentuk film. Hasil produksi film tersebut nantinya akan diputar di berbagai lokasi kegiatan dan acara sehingga dapat mengedukasi masyarakat mengenai kekayaan kebudayaan dan pariwisata Sumatera Utara.

Sehingga apa yang menjadi tujuan dari festival film ini, dapat memacu kebangkitan industri perfilman Sumatera Utara sekaligus disejajarkan dengan daerah kota besar lainnya di Indonesia.

“Festival Film Pendek Se Sumatera Utara ini diikuti 20 peserta dengan berbagai karya terbaik. Semoga apa yang disampaikan dalam film-film hasil produksi dari peserta yang terlibat dapat bermanfaat bagi kemajuan industri perfilman dan meningkatkan citra kebudayaan dan pariwisata di Sumatera Utara,” kata Didit Mahadi Kadar.

Dalam festival film pendek itu, yang berhasil menempati posisi petama dengan judul Omohada produksi Silhovet, kedua dengan judul “Pantang Dijaring Halus” produksi Ridho Golap, peringkat ketiga dengan judul “Ulos Batak untuk Indonesiaku produksi ANDI HUTAGALUNG”, peringkat keempat dengan judul “Kurang Lebih 24 Jam” terbaik empat, “Cintaku Di Kota Medan” peringkat lima, “Jejak Sang Putri” peringkat enam, “Ketika Danau Toba Mulai Meredup” peringkat tujuh, “Berburu Merlin ke Pulau Asu” peringkat delapan, “Medan Tempo Dulu” peringkat sembilan dan “Buaya-Buaya Asam Kumbang” peringkat sepuluh.

Sinopsis:
Ulos Batak untuk Indonesiaku,
Hidup berabad lamanya di Tanah Batak, karya adiluhung leluhur, Ulos terus berjuang melawan zaman. Lebih dari 3000 masyarakat Tapanuli Utara menggantungkan hidup dari sektor industri kerajinan tangan ini. Sayangnya, Ulos masih kalah popular dibandingkan produk tenunan lainnya. Modifikasi ulos di dunia fashion seperti yang dilakukan Torang MT Sitorus membangkitkan kembali semangat penenun-penenun Ulos di Tapanuli Utara. Menjadikan pula Ulos cenderamata khas Sumatera Utara dan ikon budaya Sumatera Utara di sebuah sentra kesenian tenun. Terutama melestarikan aset bangsa.

FILM ULOS BATAK IKUT MERIAHKAN MEDAN FASHION TREND 2010

Film Ulos Batak untuk Indonesiaku (Harapan Warisan Dulu) produksi ANDI HUTAGALUNG tahun 2009 ikut meriahkan Medan Fashion Trend 2010 yang membuat kagum pengunjung. Pada kegiatan yang baru pertama kali dilaksanakan ini merupakan kerjasama Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Sumatera Utara dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Sumatera Utara dan didukung Dinas Pariwisata Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2010 bertempat di Hotel JW Marriott, Medan, yang di hadiri oleh Ketua Dekranasda Sumut Hj. Fatimah Habibie Syamsul Arifin, Ketua APPMI Sumut Nilawati Iskandar, Hartono Gan selaku wakil ketua APPMI Sumut, Saurma selaku Dewan Kehormatan, dan Kabid Seni dan Budaya Disbudpar Sumut Hj. Cut Umi. menampilkan puluhan desain terkini dari lima top fashion designer dari Jakarta dan sembilan lokal fashion designer.

Medan Fashion Trend 2010 juga menampilkan karya tenun para penenun khas daerah se-Sumatera Utara, dan karya 5 perancang top fashion desainer dari ibukota, 9 fashion desainer Sumut. Jadi, sesuatu yang menarik bukan saja bagaimana anggota APPMI menampilkan fashion tendance yang menjadi acuan kecenderungan mode tahun 2010 ini.

“Harapan pagelaran event ini nantinya bertujuan menambah daya tarik wisatawan berkunjung ke daerah Sumatera Utara,” ungkap Nurlisa menyatakan dukungannya kepada Panitia Pelaksana Medan Fashion Trend 2010 (MFT 10) dan Pengurus Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Sumatera Utara. (kofi52)

Sabtu, 21 November 2009

ALAMKU MALANG, HIDUP MELAYANG

Director/Script Writer : ANDI P. HUTAGALUNG

Video competition WWF “I Do Better for Earth” 2009

(kampanye konservasi alam oleh WWF-Indonesia)

Durasi : 30 detik

Produksi Tahun 2009


Sinopsis:

Kian hari kondisi bumi ini semakin memprihatinkan. Tapi bukan berarti tidak ada harapan untuk masa depan bumi, kita, dan generasi mendatang. Indonesia adalah bumi pertiwi yang indah, tetapi itusemua tak akan bertahan lama lagi, hutan sudah habis dan sungaipun mulai mengering. Semua itu di akibatkan oleh orang-orang yang serakah dan haus akan kekuasaan tak memikirkan masa depan generasi yang akan datang, jangan samapi petaka itu yang membuat kita menjadi sadar atau generasi yang akan datang tak akan bisa lagi bermain di bumi pertiwi yang indah ini. Selamatkan bumi untuk masa depan yang indah. Video bisa diklik http://www.youtube.com/watch?v=hCqCJBUPRps

KORBAN, BERKORBAN DAN MENGORBANKAN

Climate Change Myth Buster Competition 2009

Producer : ANDI P. HUTAGALUNG

Director/script writer : WENDY DERMAWAN

Durasi : 1.30 Menit

Produksi Tahun 2009

Sinopsis:

Kita semua mengerti dan paham akan kata Korban. Tetapi arti dari kata tersebut akan mengandung makna yang berbeda ketika ada penambahan imbuhan-imbuhan. Di dalam video yang berdurasi kurang lebih satu menit ini kami mencoba untuk menjabarkannya lewat sebuah tampilan dari gabungan foto-foto dokumentasi dan cuplikan-cuplikan singkat tentang makna dari isu yang saat ini sedang naik daun “global warming”. Di dalam video ini juga lebih difokuskan kepada daerah Sumatera Utara, umumnya Indonesia. Mengapa?


Indonesia adalah Negara yang memiliki salah satu hutan terluas sehingga Indonesia dapat di kategorikan sebagai paru-paru dunia. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sangat menyedihkan, di mana kasus illegal loging masih terjadi dengan indahnya, polusi udara yang disebabkan asap kendaraan bermotor menjadi pemandangan sehari-hari masyarakatnya. Sehingga mimpi dan cita-cita tentang “Stop Global Warming” dsb. hanya menjadi alat bagi segelintir orang yang akhirnya terkesan memiliki kepentingan terselubung.


Peran pemerintah dalam hal ini hanya menjadi agenda tahunan diatas kertas. Bahkan yang memiliki peran penting dalam hal ini adalah kita sendiri sebagai masyarakat. Kesadaran yang merupakan kunci pokok hanyalah angan-angan belaka, bagaimana tidak? Di balik santernya pembicaraan tentang kesadaran dan kesadaran akan dampak dari pemanasan global yang nantinya akan memberi dampak yang sangat mengerikan di dunia ini masih dipandang sebelah mata. Contohnya, kita semua tahu penebangan hutan baik itu legal ataupun illegal, penyebaran produk-produk kendaraan bermotor baik itu yang ramah lingkungan maupun tidak masih tetap ditawarkan kepada masyarakat, yang lebih menyedihkan lagi, hanya dengan bermodalkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) para pengusaha yang bergerak di bidang “PEMBELAJARAN UTANG SEJAK DINI” memberikan keleluasaan untuk berkredit kendaraan bermotor kepada masyarakat. Dan sampah? Lebih baik tidak usah kita bahas (lihat saja sendiri kenyataannya).


Hal-hal inilah yang membiaskan makna dari GLOBAL WARMING tersebut, dan akhirnya keputusasaanlah yang akan kita pertaruhkan. Korban, berkorban dan mengorbankan adalah sesuatu yang lumrah dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia khususnya Sumatera Utara. Kepentingan-kepentingan para investor, pengembang, pengusaha, pemerintah tidak sedikit yang mengorbankan kepentingan rakyatnya. Mimpi-mimpi yang ditawarkan kepada masyarakat oleh pihak-pihak tersebut di atas menjadikan masarakat rela untuk berkorban demi mimpi indah yang semu tersebut.


Akhirnya timbul sebuah pertanyaan besar, mengapa hal ini dapat terjadi? Jawabannya adalah KESEJAHTERAAN yang diinginkan oleh banyak pihak baik itu pengusaha, pengembang, pemerintah bahkan masyarakat itu sendiri menjadikan kita lebih cenderung mengambil jalan pintas dengan mengorbankan, berkorban ataupun menjadi korban dari itu semua.


Apakah isu tentang Gobal Warming ini harus kita selesaikan dengan cara menunggu KIAMAT? Atau kita akan sadar ketika UANG sudah tidak lagi menjadi alat tukar karena pepohonan dan logam-logam yang menjadi bahan dasarnya sudah habis terkuras?